Rabu, 11 November 2009

PERMENDIKNAS NO 70 TAHUN 2009 TENTANG INKLUSI

PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 70 TAHUN 2009
TENTANG
PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK
YANG MEMILIKI KELAINAN DAN MEMILIKI
POTENSI KECERDASAN DAN/ATAU BAKAT
ISTIMEWA

Kelompok Kerja Inklusi Jawa Timur
2009
SALINAN
PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 70 TAHUN 2009
TENTANG
PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK YANG MEMILIKI KELAINAN DAN
MEMILIKI POTENSI KECERDASAN DAN/ATAU BAKAT ISTIMEWA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Menimbang :
a. bahwa peserta didik yang memiliki memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa perlu mendapatkan
layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan hak
asasinya;
b. bahwa pendidikan khusus untuk peserta didik yang memiliki
kelainan dan/atau peserta didik yang memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa dapat diselenggarakan
secara inklusif;
c. Bahwa berdasarkan prtimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional tentang Pendidikan Inklusif bagi
peserta didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi
Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4301);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4496):
3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
pembagian urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
4. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata
Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2008;
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun
2004 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77/P Tahun
2007;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK
INDONESIA TENTANG PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA
DIDIK YANG MEMILIKI KELAINAN DAN MEMILIKI POTENSI
KECERDASAN DAN/ATAU BAKAT ISTIMEWA
Pasal 1
Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik
yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk
mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara
bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Pasal 2
Pendidikan inklusif bertujuan :
(1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang
memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya;
(2) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan
tidak diskriminatif bagi semua peserta didik sebagaimana yang dimaksud pada huruf
a.
Pasal 3
(1) Setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan
secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuannya.
(2) Peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud dalam ayat (10 terdiri
atas:
a. tunanetra;
b. tunarungu;
c. tunawicara;
d. tunagrahita;
e. tunadaksa;
f. tunalaras;
g. berkesulitan belajar;
h. lamban belajar;
i. autis;
j. memiliki gangguan motorik;
k. menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya;
l. memiliki kelainan lainnya;
m. tunaganda
Pasal 4
(1) Pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit 1 (satu) sekolah asar, dan 1
(satu) sekolah menengah pertama pada setiap kecamatandan 1 (satu) satuan
pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib
menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
(2) Satuan pendidikan selain yang ditunjuk oleh kabupaten/kota dapat menerima peserta
didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
Pasal 5
(1) Penerimaan peserta didik berkelainan dan/atau peserta didik yang memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa pada satuan pendidikan mempertimbangkan
sumber daya yang dimiliki sekolah.
(2) Satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) mengalokasikan
kursi peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) paling sedikit 1 (satu) peserta didik dalam 1 (satu) rombongan belajar yang akan
diterima.
(3) Apabila dalam waktu yang telah ditentukan, alokasi peserta didik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak dapat terpenuhi, satuan pendidikan dapat menerima
peserta didik normal.
Pasal 6
(1) Pemerintah kabupaten/kota menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif sesuai
dengan kebutuhan peserta didik.
(2) Pemerintah kabupaten/kota menjamin tersedianya sumber daya pendidikan inklusif
pada satuan pendidikan yang ditunjuk.
(3) Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu tersedianya sumber daya
pendidikan inklusif.
Pasal 7
Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif menggunakan kurikulum tingkat
satuan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta didik
sesuai dengan bakat, minat, dan minatnya.
Pasal 8
Pembelajaran pada pendidikan inklusif mempertimbangkan prinsip-prinsip pembelajaran
yang disesuikan dengan karakteristik belajar peserta didik.
Pasal 9
(1) Penilaian hasil belajar bagi peserta didik pendidikan inklusif mengacu pada jenis
kurikulum tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan.
(2) Peserta didik yang mengikuti pembelajaran berasarkan kurikulum yang
dikembangkan sesuai dengan standar nasional pendidikan atau di atas standar
nasional pendidikan wajib mengikuti ujian nasional.
(3) Peserta didik yang memiliki kelainan dan mengikuti pembelajaran berdasarkan
kurikulum yang dikembangkan di bawah standar pendidikan mengikuti ujian yang
diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.
(4) Peserta didik yang menyelesaikan dan lulus ujian sesuai dengan standar nasional
pendidikan mendapatkan ijazah yang blankonya dikeluarkan oleh Pemerintah.
(5) Peserta didik yang memiliki kelainan yang menyelesaikan pendidikan berasarkan
kurikulum yang dikembangkan oleh satuan pendidikan di bawah standar nasional
pendidikan mendapatkan surat tanda tamat belajar yang blankonya dikeluarkan
oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.
(6) Peserta didik yang memperoleh surat tanda tamat belajar dapat melanjutkan
pendidikan pada tingkat atau jenjang yang lebih tinggi pada satuan pendidikan
yang menyelenggarakan pendidikan inklusif atau satuan pendidikan khusus.
Pasal 10
(1) Pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru
pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang ditunjuk untuk
menyelenggarakan pendidikan inklusif.
(2) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang tidak ditunjuk oleh
pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru
pembimbing khusus.
(3) Pemerintah kabupaten/kota wajib meningkatkan kompetensi di bidang pendidikan
khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan
penyelenggara pendidikan inklusif.
(4) Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu dan menyediakan tenaga
pembimbing khusus bagi satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif
yang memerlukan sesuai dengan kewenangannya.
(5) Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu meningkatkan kompetensi di
bidang pendidikan khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan
pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif.
(6) Peningkatan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) dpat
dilakukan melalui:
a. pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan (P4TK);
b. lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP);
c. perguruan tinggi (PT)
d. lembaga pendidikan dan pelatihan lainnya di lingkungan pemerintah daerah,
Departemen Pendidikan Nasional dan/atau Departemen agama;
e. Kelompok Kerja Guru/Kepala Sekolah (KKG, KKS), Kelompok Kerja
Pengawas Sekolah (KKPS), MGMP, MKS, MPS dan sejenisnya.
Pasal 11
(1) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif berhak memperolah bantuan
profesional sesuai dengan kebutuhan dari pemerintah kabupaten/kota.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dapat memberikan bantuan
profesional kepada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif.
(3) Bantuan profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui
kelompok kerja pendidikan inklusif, kelompok kerja organisasi profesi, lembaga swadaya
masyarakat, dan lembaga mitra terkait, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
(4) Jenis dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
a. bantuan profesional perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi;
b. bantuan profesional dalam penerimaan, identifikasi dan asesmen, prevensi,
intervensi, kompensatoris dan layanan advokasi peserta didik.
c. bantuan profesional dalam melakukan modifikasi kurikulum, program pendidikan
individual, pembelajaran, penilaian, media, dan sumber belajar serta sarana dan
prasarana yang asesibel.
(5) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif dapat bekerjasama dan
membangun jaringan dengan satuan pendidikan khusus, perguruan tinggi, organisasi
profesi, lembaga rehabilitasi, rumahsakit dan pusat kesehatan masyarakat, klinik terapi,
dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat.
Pasal 12
Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota melakukan pembinaan dan
pengawasan pendidikan inklusif sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 13
Pemerintah memberikan penghargaan kepada pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan
pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif, satuan pendidikan penyelenggara pendidikan
inklusif, dan/atau pemerintah daerah yang secara nyata memiliki komitmen tinggidan
berprestasi dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Pasal 14
Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang terbukti melanggar ketentuan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini diberikan sanksi administratif sesuai dengan
ketentuan dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 15
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 5 Oktober 2009

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
TTD
BAMBANG SUDIBYO